Studi Kritis Hadis Larangan Mencela Sahabat Nabi SAW

Studi Kritis Hadis Larangan Mencela Sahabat Nabi SAW

SUMBER: Blog Analisis Pencari Kebenaran

Oleh J Algar

Pada dasarnya mencela seorang Muslim adalah perkara yang haram baik itu dari kalangan sahabat Nabi ataupun bukan. Tetapi dalam penerapannya terjadi ketimpangan dan distorsi yang bercampur-aduk dengan berbagai kepentingan. Kita sepakat bahwa baik sahabat Nabi ataupun bukan adalah pribadi yang bisa saja melakukan kesalahan dan menyatakan kesalahan seorang muslim bukanlah termasuk tindakan Mencela.

  • Jika seorang Muslim berzina dan kita katakan berzina maka perkataan kita itu bukanlah itu suatu tindakan mencela.
  • Jika seorang Muslim berkhianat dan kita katakan ia berkhianat maka yang kita lakukan bukanlah Mencela.
  • Jika seorang sahabat Menyakiti Nabi SAW atau Ahlul Bait Nabi SAW dan kita katakan kalau perbuatan sahabat itu salah maka bukanlah perkataan kita itu Mencela.

Sungguh luar biasa melihat betapa banyak orang-orang yang tidak mengerti arti “Mencela”. Seolah-olah bagi mereka menyalahkan sebuah kemungkaran termasuk dalam kategori  “Mencela”. Apa sebenarnya yang meracuni pikiran mereka ini?, tidak lain adalah doktrin-doktrin tentang Sahabat yang mereka telan tanpa mempelajari sejarah dengan baik. Bagi mereka sahabat Nabi tidak boleh diungkapkan kesalahannya, tidak boleh dibicarakan kemungkarannya dan tidak boleh dikritik perbuatannya. Jika perbuatan sahabat Nabi melanggar syariat maka cukup berdiam diri dan jika ada yang berani mengungkapkannya maka orang tersebut harus dikatakan telah mencela Sahabat Nabi. Betapa Naifnya padahal Rasulullah sendiri tidak pernah berdiam diri atas kesalahan sahabatNya.

Mari kita lihat hadis yang sering dijadikan dasar untuk menutupi kesalahan dan kemungkaran Sahabat Nabi

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Dari Abu Sa’id Al Khudri RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Janganlah Kalian mencela para SahabatKu. Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari 5/8 no 3673, Muslim dalam Shahih Muslim 4/1067 no 221 (2540), Sunan Tirmidzi 5/695 no 3861, Sunan Abu Dawud 2/626 no 4658, Sunan Ibnu Majah 1/57 no 161 dan Musnad Ahmad 3/11 no 11094.

Mari kita analisis hadis ini dengan seksama dan menggunakan logika yang benar. Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Nabi Abu Sa’id Al Khudri RA yang mendengar langsung perkataan Nabi SAW tersebut. Janganlah Kalian mencela para SahabatKu. Perkataan ini diucapkan Nabi SAW kepada orang-orang, dan orang-orang inilah yang termasuk dalam kata “Kalian”. Misalnya kalau kita berhadapan langsung dengan banyak orang dan kita berkata “Janganlah Kalian” maka yang dimaksud “Kalian” disini jelas orang-orang yang berhadapan dengan kita. Maka begitu juga hadis di atas. Kata “Kalian” menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang berhadapan dengan Nabi SAW. Rasulullah SAW berbicara dengan orang-orang dihadapan Beliau bahwa mereka jangan mencela Sahabat Nabi. Artinya disini ada dua entitas yang berbeda yaitu

  • Kalian yang berarti Orang-orang yang berhadapan dengan Nabi dimana Nabi SAW berbicara kepada mereka
  • SahabatKu yang berarti Sahabat Nabi yang diinginkan Nabi SAW agar jangan dicela.

Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas seperti gunung Uhud. Artinya Rasulullah SAW mengatakan kepada orang-orang tersebut yang berada di hadapan Nabi SAW, seandainya mereka berinfaq emas seperti gunung Uhud. Maka tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya. Mereka yang dimaksud disini adalah Sahabat Nabi. Rasulullah SAW mengatakan bahwa seandainya orang-orang yang berada di hadapan Nabi SAW tersebut berinfaq emas sebesar gunung uhud maka tidak akan bisa menyamai infaq salah seorang dari “Sahabat Nabi. Perkataan ini jelas ditujukan kepada orang-orang Muslim di zaman Nabi karena hanya seorang Muslim yang bersedia berinfaq, dan jelas bukan ditujukan kepada orang-orang kafir. Jadi kata Kalian yang dimaksud dalam hadis ini menunjuk pada Orang-orang Muslim yang berhadapan dengan Nabi SAW ketika hadis tersebut diucapkan. Orang-orang inilah yang menurut Nabi infaqnya walau sebesar gunung uhud tidak bisa menyamai infaq satu mud atau setengahnya dari infaq Sahabat Nabi. Sehingga pertanyaan kita berikutnya adalah siapakah Sahabat Nabi yang dimaksud oleh Nabi SAW?.

Ada yang mengatakan bahwa sahabat Nabi yang dimaksud adalah semua sahabat Nabi yang merujuk pada pengertian Ibnu Hajar

Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi SAW dalam keadaan mukmin (beriman kepadanya) dan meninggal dalam keadaan Islam”. Sehingga definisi ini mencakup orang yang berjumpa dengan Beliau dan ber-mulazamah lama atau sebentar, orang  yang meriwayatkan hadits dari beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama beliau atau tidak dan orang yang melihat beliau walaupun belum bermajelis dengannya dan orang yang tidak melihat beliau karena buta.

Definisi Ibnu Hajar jelas menunjukkan bahwa Sahabat Nabi adalah semua orang muslim yang berada di zaman Nabi dan bertemu dengan Beliau. Definisi ini jelas tidak bisa dicocokkan dengan pernyataan Nabi SAW di atas. Karena kalau kita menuruti definisi Ibnu Hajar maka kata “Kalian” yang berarti “Orang-orang Muslim yang berhadapan dengan Nabi” juga termasuk kedalam Sahabat Nabi. Padahal hadis di atas menjelaskan bahwa infaq Orang-orang itu (“Kalian”) walau sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai infaq satu mud atau setengahnya salah seorang dari Sahabat Nabi (“Mereka”). Nah kalau memang “Kalian” itu adalah sahabat Nabi sudah jelas infaqnya akan sama dengan “Mereka” (yang juga Sahabat Nabi). Buktinya Rasul SAW mengatakan tidak sama. Inilah kekacauan yang tidak terlihat karena pikiran yang cuma sekedar taklid.

Hadis di atas justru menunjukkan bahwa Sahabat Nabi yang dimaksud oleh Nabi SAW di atas memiliki definisi yang berbeda dengan definisi Ibnu Hajar. Artinya yang dimaksudkan Nabi SAW adalah bukan semua sahabat yang berdasarkan definisi Ibnu Hajar yaitu setiap orang muslim yang beriman dan bertemu Nabi SAW.

Intinya ada ketimpangan antara Sahabat Nabi yang dimaksud oleh Nabi SAW dalam hadis di atas dan Sahabat Nabi menurut definisi Ibnu Hajar. Sekarang mari kita lihat hadis berikut (juga riwayat Abu Sa’id) dalam Musnad Ahmad 3/28 no 11236 yang dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth

عن أبي سعيد الخدري ان النبي صلى الله عليه و سلم قال فأقول أصحابي أصحابي فقيل انك لا تدري ما أحدثوا بعدك قال فأقول بعدا بعدا أو قال سحقا سحقا لمن بدل بعدي

Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Nabi SAW bersabda “Aku berkata “SahabatKu, SahabatKu,” maka dikatakan kepadaku “Sesungguhnya Engkau tidak mengetahui apa yang sudah mereka ubah sepeninggalMu”. Lalu aku berkata “Jauh, jauh” atau berkata “celakalah celakalah mereka yang mengubah sepeninggalKu”.

Berhadapan dengan hadis ini akankah kita katakan berdasarkan definisi Ibnu Hajar bahwa Sahabat Nabi di atas adalah semua orang muslim yang beriman kepada Nabi dan bertemu dengan Nabi SAW. Akankah kita mengatakan bahwa kata SahabatKu yang diucapkan oleh Nabi SAW adalah semua sahabat Nabi berdasarkan definisi Ibnu Hajar. Jika iya maka berarti semua sahabat Nabi itu telah mengadakan hal-hal baru sepeninggal Nabi yang membuat mereka celaka. Sepertinya akan banyak orang yang tidak rela dengan penjelasan seperti ini.

Tetapi betapa anehnya ketika hadis larangan mencela Sahabat Nabi di atas yang juga menggunakan lafaz yang sama “SahabatKu” maka itu dikatakan semua sahabat Nabi berdasarkan definisi Ibnu Hajar. Padahal matan hadisnya justru menunjukkan bahwa Sahabat Nabi yang dimaksud oleh Nabi bukanlah semua orang islam yang ada pada zaman Nabi. Lucu sekali jika dikatakan bahwa kata “sahabat Nabi dalam hadis di atas adalah semua sahabat Nabi seluruhnya dan kata “Kalian” dalam hadis di atas adalah generasi setelah sahabat Nabi. Padahal matan hadisnya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW berbicara langsung dengan orang-orang yang dimaksud. Apakah generasi setelah sahabat bisa muncul di hadapan Nabi SAW sehingga ketika berkata-kata Nabi SAW menggunakan lafaz “Kalian”. Sungguh mustahil.

Kata “Kalian” dalam hadis tersebut ditujukan kepada sebagian orang-orang islam yang ada di zaman Nabi dan orang-orang ini berdasarkan definisi Ibnu Hajar adalah sahabat Nabi. Orang-orang inilah yang dikatakan Nabi SAW bahwa infaq mereka walau sebesar gunung Uhud tidak menyamai infaq Sahabat Nabi (yang dimaksudkan oleh Nabi SAW bukan definisi Ibnu Hajar). Sepertinya Rasulullah SAW memiliki pengertian sendiri mengenai siapa yang dimaksud Sahabat Nabi dalam hadis di atas, pengertian yang berbeda dengan sahabat Nabi menurut definisi Ibnu Hajar.

Orang-orang yang mendengar hadis di atas ternyata tidak semuanya mematuhi perintah Nabi SAW. Sejarah membuktikan bahwa mereka yang pertama-tama melanggar hadis ini adalah mereka yang dikatakan sebagai Sahabat Nabi berdasarkan definisi Ibnu Hajar. Diantara mereka adalah Muawiyah, Mughirah bin Syu’bah dan Busr bin Arthah. Mereka adalah orang-orang yang telah mencaci atau mencela sahabat Nabi yaitu Imam Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah orang islam yang hidup di zaman Nabi dan bisa dikatakan mereka juga mengetahui hadis Nabi SAW bahwa tidak boleh mencaci sahabat Nabi.

Sebelum mengakhiri tulisan ini kami akan membahas sedikit soal apa yang dimaksud Mencela atau Mencaci. Menunjukkan kesalahan Sahabat Nabi bukanlah termasuk Mencela atau Mencaci karena

  • Rasulullah SAW sendiri justru pernah menyatakan kesalahan Sahabat-sahabat Beliau.
  • Allah SWT pernah menyatakan fasiq kepada salah seorang Sahabat Nabi.
  • Rasulullah SAW pernah pula mengatakan bahwa ada Sahabat Nabi yang masuk neraka.

Mencela atau Mencaci adalah jika seseorang menggunakan kata-kata yang kasar dan tidak pantas kepada seseorang padahal orang tersebut tidak bersifat seperti itu. Mencela atau Mencaci adalah jika seseorang menisbatkan perbuatan tercela kepada seseorang padahal orang tersebut tidaklah melakukan perbuatan tercela tersebut. Dan yah mungkin anda bisa menambahkan contoh-contoh yang lain hanya saja mengungkapkan kesalahan atau mengingatkan orang lain atas kesalahannya bukan termasuk dalam kategori mencela atau mencaci. Dan sudah seharusnya kita sebagai seorang Muslim tidak diperbolehkan mencaci atau mencela Muslim lainnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Nabi SAW bersabda “Mencaci seorang Muslim adalah kefasiqan dan Membunuhnya adalah kekufuran”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari 1/19 no 48, Shahih Bukhari 8/15 no 6044 dan Shahih Bukhari 9/50 no 7076. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih Muslim 1/81 no (64) 116.

_______________________________________________________________

UNTUK BERKOMENTAR DAN BERINTERAKSI DENGAN PENULIS SILAHKAN KLIK DISINI