Potret Sahabat Nabi saw al Walîd bin ‘Uqbah

Potret Sahabat Nabi saw al Walîd bin ‘Uqbah

SUMBER:jakfari.wordpress.com

Dengan dalih konsep “Keadilan Sahabat” Seorang sahabat yang jelas-jelas berdusta kepada Nabi SAW dan di cap Fasiq oleh Allah SWT, maka riwayatnya pun tetap diandalkan oleh para ulama ahli hadis (Ahlussunnah) salah satu contoh adalah al Walid bin Uqbah -Admin: Keadilan Sahabat-

Oleh Ibnu Jakfari

Sahabat agung  -“jalîl”- lain kebanggaan Ahlusunnnah adalah al Walîd bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith saudara seibu Khalifah Utsman bin Affân yang hingga masa kekhalifahaannya ia percayai untuk menjabat sebagai Gubenur kendati ia fasik.

Tentang siapa dan bagaimana sepak-terjangnya yang mungkin dapat “menjadi teladan” bagi para pemuda  Salafy/Sunni penuh semangat, simak uraian di bawah ini!

Ibnun Hajar al Asqallâni memperkenalkan kepada kita tentang siapa sejatinya al Walîd bin ‘Uqbah, ia berkata, “Al Walîd bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith … al Umawi, saudara seibu Ustman bin Affân ibu mereka bernama Arwâ binti Karîz bin Rabî’ah…

Ayahnya (‘Uqbah) dipancung setelah selesai parang Badr. Ia (‘Uqbah) sangat membenci dan ganas terhadap kaum Muslimin, banyak mengganggu Rasulullah saw. ia ditawan dalam perang Badr lalu Nabi saw. memerintahkan agar ia dibunuh. Ia barkata, ‘Hai Muhammad (jika engkau bunuh aku) siapa yang akan mengurus anak-anakku?’ Nabi saw. berkata, ‘Anak-anakmu untuk neraka!

Dikatakan bahwa untuknyalah ayat “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti….” (QS. Al Hujurât [49];6) turun, Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama ahli tafsir Al Qur’an bahwa ayat ini turun untukknya.’[1] (Lalu ia menyebutkan kisah seperti nanti akan saya sebutkan dari riwayat para ulama)

Ibnu Hajar melanjutkan,

“Dan kisahnya ketika memimpin shalat shubuh empat rakaat dalam keadaan mabok adalah sangat masyhur dan diriwayatkan dengan banyak jalur. Demikian juga kisah dicopotnya ia dari jabatan sebagai Gubenur wilayah Kufah setelah terbukti mabok juga masyhur dan diriwayatkan dengan banyak sanad dalam kitab Shahîhain (Bukhari dan Muslim)…. setelah kematian Utsman, al Walîd mengucilkan diri dari dunia politik, tidak ikut terlibat dalam fitnah, tidak bersama Ali tidak juga bersama lawan-lawannya. Akan tetapi ia membakar semangat Mu’awiyah agar memberontak terhadap Ali. Ia menulis surat dan menggubah bait-bait syair untuk tujuan itu dan ia kirimkan juga di antara nya    kepada Mu’awiyah! [2]

Ibnu Abdil Barr menegaskan kepada kita hahwa semasa menjabat sebagai Gubenur Kufah, bau busuk sepak terjang terkutuk al Walîd sangat mengganggu penciuman penduduk kota Kufah! Ia berkata, ‘Dan al Walîd memiliki banyak kejadian buruk selama di kota Kufah yang membuktikan kejelekan keadaannya dan keburukan tindakannya…

Al Ashmu’i, Abu Ubaid dan al Kalbi serta ulama lainnya mengatakan bahwa al Walîd adalah pecandu berat khamer... kabar tentang pesta khamer yang biasa ia gelar bersama Abu Yazîd ath Thâi adalah sangat terkenal dan banyak. Kami jijik menyebutnya di sini. Kami hanya akan menyebutkan sekelumit saja apa yang disebutkan oleh  Umar bin Syubbah, “…al Walîd memimpin shalat shubuh empat raka’at dalam keadaan mabok berat, lalu ia menoleh kepada para makmum dan berkata, ‘Apa mau saya tambah lagi?!’ dan berita al Walîd yang shalat shubuh empat raka’at adalah sangat masyhur dari riwayat para perawi jujur terpercaya/tsiqât dari penukilan ahli hadis dan ahli sejarah….

Karena perbuataannya itu ia dihukum dera/cambuk sebanyak empat puluh kali cambukan setelah para saksi bersaksi. Pelaksana hukuman itu adalah Abdullah bin Ja’far (anak saudara Imam Ali as.).[3]

Dalam banyak riwayat bahwa ia mabok hingga muntah-muntah di mihrab ketika memimpin shalat shubuh tersebut![4]

Kegemaran Mabok-mabokan Yang Mendarah Daging!

Rupanya ketergantungan terhadap khamer begitu dalam dalam kehidupan sang Sahabat “Panutan ulama Ahlusunnah yang Jalîl ini”. Sebab apa yang Anda baca di atas bukan satu-satunya kasus yang terpantau dan dicatat sejarah… banyak kasus serupa yang dicatat para ulama dan ahli sejarah. Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh Damasqus-nya berkata, “Al Walîd bin ‘Uqbah adalah pejabat Utsman pertama yang berbuat kerusakan. Ia mengundang tukang sihir [ke dalam masjid], menenggak khamer dan teman minumnya adalah Abu Zaid seorang nashrani yang sangat dia istimewakan.[5]

Imam adz Dzahabi (ulama kebanggaan dan andalan Ahlnsunnah) dalam Siyar al A’lâm, Ibnu Qudâmah dalam kitab al Mughni dan Ibnu ‘Asâkir melaporkan dari ‘Alqamah, “Kami bergabung dalam satu pasukan dalam peperangan melawan Romawi bersama kami Hudzaifah, pemimpin kami saat itu adalah al Walîd, lalu ia minum khamer (setelah terbukti berdasarkan kesaksian) kami bermaksud menegakkan hukuman atasnya, Hudzaifah berkata, ‘Apakah kalian akan menyambuk Amir kalian sekarang, sedangkan kalian sudah dekat dengan musuh kalian, maka jika kalian lakukan, maka mereka menjadi berani menyerang kita.’ Lalu sampailah ucapan Hudzaifah kepada  al Walîd maka ia menggubah baik syair yang berbunyi:

Aku akan terus meminumnya kendati ia haram hukumnya***

dan aku tetap akan meminumnya betapapun orang-orang murka atasku.[6]

Bait syair al Walîd di atas jelas menunjukkan betapa benar-benar melecehkan agama dan umat Islam… tetapi jika al Walîd bersikap demikian maka hal itu pantas-pantas saja sebab dia adalah seorang fasik yang telah diabadikan kefasikannya oleh Allah SWT dalam Al Qur’an…. Mungkinkah seorang fasik jiwanya akan muncul dari dirinya keshalehan sejati?

Apa yang Allah firmankan (seperti akan kami buktikan nanti) adalah bukti mu’jizat Al Qur’an… betapa seorang yang ditegaskan sebagai fasik tidak mungkin berubah menjadi tidak fasik… tentunya semuanya dengan sepenuh ikhtiyar hamba! Persis ketika Allah SWT memastikan bahwa Abu Lahab akan mati dalam keadaan kafir dan masuk neraka! Benar bahwa hingga mati, Abu Lahab tidak bertobat dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!

Tetapi, apa yang dinyatakan al Walîd adalah bukti betapa ia benar-benar tidak menghormati norma agama!

Inilah sekilas sejarah sahabat Agung nun mulia “kebanggaan Ahlusunnah”! Dan untuk lebih lengkapnya dan demi memantapkan keyakinan Anda akan kesalehan dan keteladanan “sahabat unggulan” yang satu ini ikuti ulasan berikut! Semoga Anda puas!

Allah SWT Menyebut al Walîd Dengan Gelar Si Fâsiq!

Dalam sebuah ayat, Allah SWT dengan tegas menggelari al Walîd bin ‘Uqbah sebagai si fasiq. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّها الذينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيّنُوا …

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti….(QS. Al Hujurât [49];6)

Keterangan Para Ulama Ahlusunnah

Kendati nama al Walîd bin ‘Uqbah tidak disebut dalam ayat di atas (seperti kebiasaan al Qur’an dalam menyebut peristiwa atau kasus yang terjadi di masa turunnya) namun demikian seluruh riwayat tentang sebab turunnya ayat di atas telah sepakat bahwa ia turun untuk al Walîd bin ‘Uqbah terkait sebuah kisah yang panjang, seperti juga telah Anda baca keterangan Imam Ibnu Abdil Barr al Mâliki.[7]

Al Walîd bin ‘Uqbah  diutus sebagai ‘âmil zakat untuk mengumpulkan harta zakat dan shadaqah dari bani al Mushthaliq yang telah memeluk Islam, mendengar kabar bahwa utusan Rasulullah saw. akan datang, mereka menyambutnya keluar ke perbatasan desa mereka, namun menyaksikan itu al Walîd bin ‘Uqbah  justeru malah kembali pulang dan kemudian membuat-buat berita palsu bahwa mereka telah murtad dan kembali kafir. Mereka menolak menyerahkan harta zakat mereka dan hampir-hampir mereka membunuhku, kata al Walîd. Mendengar berita itu Rasulullah saw. memerintahkan sekelompok sabahat beliau untuk memastikan kabar berita itu, ternyata tidak benar dan al Walîd berbohong kepada Rasululah saw. karena, kata sebagian riwayat itu, antara dia dan kaum itu terdapat permusuhan di masa jahiliyah, dan ia ingin melampiaskan demdamnya atas mereka. Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai peringatan bagi kaum Mukmin agar berhati-hati dalam menerima kabar berita dari seorang yang fasik, supaya tidak bertindak keliru.

Para ulama dan ahli tafsir Ahlusunnah telah bersepakat berdasarkan riwayat-riwayat yang kuat bahwa yang dimaksud dengan “si fasik” yang berbohong kepada Nabi saw. dalam urusan yang penting ini adalah al Walîd bin ‘Uqbah saudara seibu Utsman bin Affân.

.

Dibawah ini akan saya sebutkan komentar sebagian ulama tentangnya.

1. Ibnu Katsir, ia berkata:

و قد ذكر كثير من المفسرين أن هذه الآية نزلت في الوليد بن عقبة بن أبي معيط، حين بعثه رسول اللّه صلى اللّه عليه و سلم على صدقات بني المصطلق، و قد روي ذلك من طرق‏ و من أحسنها ما رواه الإمام أحمد في مسنده من رواية ملك بني المصطلق، و هو الحارث بن ضرار والد جويرية بنت الحارث أم المؤمنين رضي اللّه عنها

 “Dan banyak dari para mufassir menyebutkan bahwa ayat ini turun untuk Al Walîd ibn ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith ketika diutus untuk memungut shadagah bani Mushthaliq, kisah itu telah diriwayatkan dari banyak jalur, jalur paling bagus adalah apa yang diriyawatkan Imam Ahmad dari jalur raja/pemimpin bani Mushthaliq yaitu Hârits bin Dhirâr ayah Juwairiyah istri Nabi ra.”

Kemudian ia menyebutkan beberapa riwayat tentangnya dari riwayat Imam Ahmad, Ibnu Jarîr ath Thabari.

Ia juga mengatakan:

.

و كذا ذكر غير واحد من السلف‏ منهم ابن أبي ليلى و يزيد بن رومان و الضحاك، و مقاتل بن حيان، و غيرهم في هذه الآية أنها أنزلت في الوليد بن عقبة، و اللّه أعلم.

“Tidak sedikit dari kalangan ulama Salaf di antara mereka ialah Ibnu Abi Lailâ, Yazid ibn Rûmân, al Dhahhâk dan Muqâtil ibn Hayyân yang menyebutkan bahwa ayat ini untuk Al Wlîd bin ‘Uqbah,.”[8]

.

2. Al Qurthubi

Dalam tafsirnya, setelah mengatakan bahwa ayat ini turun untuk al Walîd, menukil riwayat dari Qatadah……. lalu Allah menurunkan ayat ini.

وسمي الوليد فاسقا أي كاذبا. قال‏ ابن زيد و- مقاتل و- سهل بن عبد الله: الفاسق الكذاب‏ . و- قال أبو الحسن  الوراق: هو المعلن بالذنب. و- قال ابن طاهر: الذي لا يستحي من الله.

“Dan al Walîd dinamai fasik artinya si pembohong. Ibnu Zaid berkata, fasik artinya al kadzdzâb, pembohong besar. Abu al Hasan  al Warrâq berkata, fasik artinya yang terang-terangan dalam menampakkan dosa.. Ibnu Thahir berkata, yang tidak malu terhadap Allah…[9]

3. An Nasafi

Menegaskan, para ulama telah sepakat bahwa ayat ini turun untuk Al-Walîd ibn ‘Uqbah. Beliau juga menyimpulkan bahwa disebutkannya kata fâsiqun dalam bentuk nakirah (tanpa alif dan lâm) untuk tujuan keuumuman, siapapun dari orang yang fasik tanpa melihat golongannya, jika membawa kabar harus diuji kebenarannya terlebih dahulu… jangan kamu bersandar kepada ucapan si fasik, sebab seeorang yang tidak menjaga diri dari jenis kefasikan tertentu ia pasti tidak menjaga diri dari berbohong yang mana ia adalah bagian dari kefasikan itu…[10]

4. Al Khâzin

Berkata:

الآية نزلت في الوليد بن عقبة بن أبي معيط

Ayat ini turun untuk Al-Waliid ibn ‘Uqbah ibn Abi Mt’aith.” Setelahnya, ia menyebutkan riwayat tentangnya.

Walaupun kemudian ia berusaha membelanya dengan tanpa alasan. Seperti akan Anda saksikan nanti! Dan sikap itu adalah aneh, khususnya ia sendiri memastikan bahwa yang dimaksud dengan si fasik dalam ayat itu adalah al Walîd.[11]

5. Al Baghawi berkata:

 نزلت في الوليد بن عقبة بن أبي معيط

Ayat ini turun untuk al Walîd bin ‘Uqbah ibn Abi Mut’aith.”[12]

6. Syeikh al Alûsi

Dalam tafsir Rûh al Ma’âni-nya menyebutkan riwayat Imam Ahmad, Ibnu Abi al Dunya, al Thabarâni, Ibnu Mandah dan Ibnu Mardawaih dengan sanad, yang ia sifati dengan jayyid (bagus) dari al Harits ibn Abi Dhirâr al Khuza’i. Sebagaimana ia juga menyebut riwayat dari Abduh ibn Humaid dari al Hasan.[13] Setelahnya ia menerangkan makna kata fâsiq. Ia berkata:

و الفاسق الخارج عن حجر الشرع من قولهم: فسق الرطب إذا خرج عن قشرة، قال الراغب: و الفسق أعم من الكفر و يقع بالقليل من الذنوب و الكثير لكن تعورف فيما كانت كثيرة، و أكثر ما يقال الفاسق لمن التزم حكم الشرع و أقر به ثم أخل بجميع أحكامه أو ببعضها

“Dan fasik itu adalah orang yang keluar dari ikatan syari’at, di ambil dari ucapan orang Arab, fasaqa ar rathbu artinya daging kurma setengah matang itu keluar dari kulitnya. Ar Râghib (al Isfahâni), ‘Kata fasik lebih umum dari kekafiran, dan kefasikan itu bisa terjadi diakibatkan sedikit dosa atau juga banyak, tetapi ia lebih identik digunakan untuk pelaku  tindakan dosa yang banyak. Yang terbanyak digunakan kata fasik itu untuk orang yang telah menerima secara formal syari’at kemudian ia menyalahinya dengan menyalahi seluruh atau sebagian hukumnya.” 

7. Asy Syaukâni berkata:

قال المفسرون: إن هذه الآية نزلت في الوليد بن عقبة بن أبي معيط كما سيأتي بيانه إن شاء اللّه‏

“Para ahli tafsir berkata ayat ini turun untuk al Walîd bin ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith seperti akan kami terangkan nanti…”

Kemudian ia menyebutkan riwayat tentangnya dari riwayat Ahmad, Ibnu Abi Hatim, al Thabarâni, Ibnu Mandah dan Ibnu Mardawaih, al Suyûthi dan ia mengatakan bahwa sanadnya bagus dari al Hârits…

Kemudian ia mengutip Ibnu Katsir:

قال ابن كثير: هذا من أحسن ما روي في سبب نزول الآية. و قد رويت روايات كثيرة متفقة على أنه سبب نزول الآية، و أنه المراد بها و إن اختلفت القصص.

‘Dan ini adalah paling bagusnya riwayat tentang sebab turun ayat ini. Dan telah diriwayatkan banyak riwayat yang sepakat bahwa ia adalah sebab turunnya ayat tersebut, walaupun ada perbedaan dalam kisahnya.’[14]

8. Al Qâsimi dalam tafsir ayat ini menukil riwayat-riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, dari Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ia berkata:

قال ابن كثير: ذكر كثير من المفسرين أن هذه الآية نزلت في الوليد بن عقبة بن أبي معيط، حين بعثه رسول اللّه صلّى اللّه عليه و سلّم على صدقات بني المصطلق. و قد روي ذلك من طرق. و من أحسنها ماعن ابن المصطلق، و هو الحارث بن ضرار والد جويرية أم المؤمنين رضي اللّه عنها.

“Ibnu Katsîr berkata: “Dan banyak dari para mufassir menyebutkan bahwa ayat ini turun untuk Al Walîd ibn ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith ketika diutus untuk memungut shadagah bani Mushthaliq, kisah itu telah diriwayatkan dari banyak jalur, jalur paling bagus adalah apa yang diriyawatkan Imam Ahmad dari jalur raja/pemimpin bani Mushthaliq yaitu Hârits bin Dhirâr ayah Juwairiyah istri Nabi ra.“

Kemudian ia memperkenalkan kepada kita siapa sejatinya al Walîd itu, ia berkata: Ibnu Qutaibah berkata dalam al-Ma’arif:

الوليد بن عقبة بن أبي معيط بن أبي عمرو بن أمية ابن عبد شمس، و هو أخو عثمان لأمه، أروى بنت كريز. أسلم يوم فتح مكة، و بعثه رسول اللّه صلّى اللّه عليه و سلّم مصدقا إلى بني المصطلق، فأتاه فقال: منعوني الصدقة! و كان كاذبا . فأنزل اللّه هذه الآية. و ولّاه عمر على صدقات بني تغلب، و ولّاه عثمان الكوفة بعد سعد بن أبي وقاص، فصلى بأهلها صلاة الفجر، و هو سكران، أربعا، و قال: أزيدكم؟! فشهدوا عليه بشرب الخمر عند عثمان، فعزله و حدّه. و لم يزل بالمدينة حتى بويع عليّ، فخرج إلى الرقّة فنزلها، و اعتزل عليّا و معاوية. و مات بناحية الرّقة.

Al Walîd bin ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith bin Abi bin Umayyah ibn Abdi Syams, ia adalah saudara seibu dengan Utsman yaitu ibu Arwâ binti Karîz. Ia (al Walîd) masuk Islam pada saat penaklukan kota Makkah, ia diutus Rasulullah saw. sebagai pemungut zakat kepada bani al Mushthaliq, ia kembali kepada beliau saw. dan berkata, mereka menolak menyerahkan zakat kepadaku! Dan ia adalah pembohong. Maka Allah menurunkan ayat ini. Umar mengangkatnya sebagai pemungut shadaqah bani Taghlib. Utsman mengangkatnya sebagai Gubernur kota Kufah setelah dicopotnya Sa’ad ibn Abi Waqqâsh, ia ( al Walîd) memimpin salat shubuh dalam keadaan mabuk, ia salat empat raka’at, dan (setelah salam) mengatakan, ‘Apakah mau saya tambah?!’ Penduduk kota Kufah juga memberikan kesaksian di hadapan Utsman bahwa ia mabuk, maka ia mencopot dan memberikan sanksi (cambuk) kepadanya[15], setelah itu ia tinggal di kota Madinah hingga Ali dibaiat, maka ia keluar menuju daerah al Riqqah dan tinggal di sana, ia menjauhkan diri dalam komflik antara Ali dan Mu’awiyah, ia mati di daerah al Riqqah…. “

9. Al Qasimi

Juga menukil kesimpulan yang dibuat al Suyuthi, ‘Dalam ayat ini terdapat (kesimpulan) bahwa berita orang fasik harus ditolak…’.[16]

.

10. Jalaluddin as Suyûthi

Dalam tafsir ad Durr al Mantsur-nya menyebutkan sepuluh riwayat yang menegaskan bahwa ayat ini untuk al Walîd bin ‘Uqbah;

  1. Riwayat pertama dari Ahmad, Ibnu Abi Hatim, ath Thabarâni, Ibnu Mandah dan Ibnu Mardawaih, dengan sanad yang bagus dari sahabat al Hârits.
  2. Riwayat kedua dari ath Thabarâni, Ibnu Mandah dan Ibnu Mardawaih dari sahabat Alqamah ibn Nahiyah.
  3. Ketiga, dari riwayat ath Thabarâni dari sahabat Jabir ibn Abdillah.
  4. Riwayat keempat, dari riwayat Ibnu Rahawaih, Ibnu Jarir, ath Thabari dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah- istri Nabi saw.
  5. Riwayat kelima, dari riwayat Ibnu Jarir ath Thabari, Ibnu Mardawaih dan al—Baihaqi dalam Sunannya dan Ibnu Asakir dari sahabat Ibnu Abbas ra.
  6. Riwayat keenam, dari riwayat, Adam, Abdu ibn Humaid, Ibnu Jarir ath Thabari, Ibnu al Mundzir dan al Baihaqi dari Mujahid,
  7. Riwayat ketujuh, dari riwayat Ibnu Mardawaih dari sahabat Jabir ibn Abdillah,
  8. Riwayat kedelapan, dari riwayat Abdu ibn Humaid dari al Hasan,
  9. Riwayat kesembilan dari riwayat Abdu ibn Humaid dari Ikrimah,
  10. dan riwayat kesepuluh, dari riwayat Abdu ibn Humaid dan Ibnu Jarir dari Qatadah.

Dalam Lubâb an Nuqûl, as Suyûthi kembali menyebutkan riwayat yang menegaskan bahwa ayat ini turun untuk al Walîd.[17]

.

11. Imam al Wâhidi dalam kitab Asbâb an Nuzûl-nya menegeskan bahwa ayat ini turun untuk al Walîd bin ‘Uqbah ibn Abi Mu’aith. Kemudian ia menyebutkan kisah tentangnya dan juga menukil riwayat panjang dari Imam al Hakim.[18]

.

12. Syeikh Ibnu Âsyûr

Dalam tafsir at Tahhîr wa an Nanwîr-nya menegaskan bahwa riwayat yang menyebutkan turunnya ayat tersebut untuk al Walîd sangat banyak sekali. Ia berkata:

.

و قد تضافرت الروايات عند المفسرين عن أم سلمة و ابن عباس و الحارث بن ضرارة الخزاعي أن هذه الآية نزلت عن سبب قضية حدثت. ذلك أن النبي‏ء صلى اللّه عليه و سلّم بعث الويد بن عقبة بن أبي معيط إلى بني المصطلق من خزاعة ليأتي بصدقاتهم‏

“Dan telah banyak riwayat di kalangan para ahli tafsir dari Ummmu Salamah, Ibnu Abbas dan al Hârits bin Dhirâr bahwa ayat ini turun terkait dengan sebuah peristiwa yang menjadi sebab turunnya yaitu Nabi saw. mengutus al Walîd bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith kepada bani Mushthalaq dari suku Khuzâ’ah untuk mengumpulkan zakat mereka.[19]

.

Ibnu Jakfari berkata:

Inilah beberapa kutipan dari para ulama sengaja saya hadirkan dari berbagai kitab tafsir Ahlusunnah agar menjadi jelas bahwa hal ini telah diaklamasikan oleh para ulama dan bukan yang hanya diriwayatkan dalam satu atau dua riwayat yang belum pasti kesahihannya.

Dan sepak terjang al Walîd seperti juga telah disinggung, tidak berubah, ia tatap fasik dengan tidak henti-hentinya berlaku zalim dalam kekuasaannya, tanpa ada kontrol dari pemerintahan pusat; Khalifah Utsman bin Affân ketika itu. Dan rupanya predikat sebagai orang fasik tidak hanya ditegaskan Allah dalam ayat di atas semata, tetapi ada ayat lain yang juga menyebut al Walîd dengan gelar fasik.

Banyak riwayat menyebutkan bahwa terjadi konflik antara Imam Ali as. dan al-Waliid, lalu Imam Ali as. mengecamnya dengan mengatakan, hai orang fasik, diam kamu. Maka Allah SWT. menururnkan sebuah ayat yang membenarkan kecaman dan mentalitas fasik al-Waliid.

Allah SWT. berfirman:

أَ فَمَنْ كانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كان فَاسِقًا لا يَسْتَوُوْنَ * فَأَمَّا الذينَ آمَنُوا و عَمِلُوا الصالِحاتِ فَلَهُمْ جَناتُ المَأْوَى نُزُلاً بِما كَانوا يَعْمَلُوْنَ * وَ أَمَّا الذيْنَ فَسَقُوا فَمَأْواهُمْ النارُ, كُلَّما أَرادُوا أَنْ يَخْرُحُوا مِنْها أُعِيْدُوا فِيْها, وَ قِيْلَ لَهُمْ ذُوْقُوا عَذابَ النارِ الذيْ كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُوْنَ.

Maka apakah oranmg yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama * Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka bagi mereka surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan* Dan adapun orang-ornag yang fasik (kafir), maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikataan kepada mereka:” Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya”. (SQ:32;17-19)

Dalam kesempatan ini saya tidak hendak menyebutkan data-data yang menguatkan hal ini, karena saya khawatir pembahahasan kita semakin menjauh, namun saya persilahkan Anda merujuk ke berbagai kitab-kitab tafsir standar, seperti Fath al Qadîr dan Syawâhid at Tanzîil karya al Hâkim al Hiskâni,[20] pasti Anda menemukan kebenaran apa yang saya katakan.

Dalam ayat-ayat di atas, setelah menegaskan bahwa tidak akan sama antara orang yang mukmin dan orang yang fasik (yang dalam tafsiran para ulama maksudnya adalah orang kafir), Allah SWT. menyebutkan kesudahan dan nasib kedua model manusia itu, orang-orang yang fasik itu di pastikan neraka sebagai tempat tinggal mereka di akhirat nanti.

Namun anehnya para ulama Ahlusunnah mengatakan, al Walîd adalah sahabat yang ‘adil (baik/shaleh, mulia) bukan seorang yang fasik! dan surga penuh kenikmatan, dan bukan neraka sebagai tempat tinggalnya kelak!! Manakah yang harus kita dengar, firman dan ketetapan Allah atau pendapat para ulama itu?! Jawabnya saya serahkan kepada kejernihan pikiran Anda.

 Para Ulama Ahlusunnah Membela Mati-matian Kehormatan al Walîd!

Kendati telah nyata bukti-bukti pasti dari riwayat-riwayat shahih serta kenyataan sejarah hidup al Walîd yang fasik, dan kendati Allah telah menegaskan bahwa al Walîd adalah orang yang fasik yang berani mengada-ngada kepalsuan membahayakan terhadap Nabi saw…. Namun demikian para ulama Ahlusunnah tidak suka hati jika ada yang menyebut al Walîd sebagai si fasik! Seakan mereka memprotes Allah SWT yang menyebut sahabat kebanggaan mereka dengan gelar fasik! Sikap itu, memang aneh dan sungguh aneh. Betapa tidak?! Mereka menyaksikan dan menshahihkan riwayat-riwayat tentang sebab turunnya ayat tersebut untuk al Walîd yang Allah sebut sebagai fasik, tetapi mereka menolak menetapkan gelar itu untuk al Walîd!

Sunnguh mengherankan sikap sebagian ulama Ahlusunnah seperti ar Râzi, ash Shâwi –dalam komentarnya atas tafsir Jalalain-, Ibnu Âsyûr dan beberapa lainnya… keberatan itu benar-benar tanpa alasan selain bahwa karena al Walîd adalah sahabat agung, jalîl, maka tidak pantas kita berprasangka demikian terhadap sahabat. Karena, kami; ulama Ahlusunnah telah bersepakat bahwa seluruh sahabat itu ‘adil/baik, jujur terpercaya, panutan … persetan dengan siapa pun yang berani menyebut al Walîd; sahabat kebanggaan dan teladan kami sebagai fasik! Zindiqlah kalian yang menyebutnya fasik!!

Persetan dengan Sayyidina Hasan cucu tercinta Nabi saw. yang berani menghina sahabat agung panutan kami; Ahlusunnnah dengan menggelarinya si fasik –seperti yang digelarkan Allah untuknya- seperti dalam riwayat shahih yang telah diabadikan para ulama sejarah. Imam Hasan as. Berkata kepada al Walîd,

“… Demi Allah aku tidak mencelamu atas kebencianmu kepada Ali karena Ali telah menderamu sebanyak delapan puluh kali karena kamu menenggak khamr (miras)… engkau adalah orang yang telah dinamai Allah dengan FASIQ dan Allah menamai Ali MUKMIN.[21]

Persetan dengan “mulut busuk” siapa pun yang berani menyebut al Walîd bin ‘Uqbah, pujaan kami; Ahluusunnah dengan gelar yang ditetapkan Allah atasnya! Kami siap berperang dan menghukumi sebagai Ahli Bid’ah dan Zindiq/kafir atas Anda yang berani menyebut al Walîd bin ‘Uqbah; sahabat agung itu dengan gelar FASIQ!! Demikian kira-kira ancaman para ulama pengagung Para Salaf Shalihîn, seperti al Walîd bin ‘Uqbah, Mu’awiyah putra Abu Sufyân (gembong kaum kafir/musyrik), ‘Amr putra al Âsh (Penghina Nabi saw.), Samurah bin Jundub Cs.

Ketetapan Allah dan Rasul-Nya harus diabaikan! Demi menjaga kehormatan sahabat betapa pun ia seorang fasik, pemabuk dan pembohong besar, nash-nash keagamaan harus diperkosa!! Demikian kira-kira luapan semangat pembelaan yang ditampakkann ulama Ahlusunnah itu. Lebih jelasnya Anda baca tafsir Ibnu Âsyur, dia sangat berapi-api dalam usahanya memperkosa ayat dan riwayat-riwayat di atas!

Seakan persahabatan seorang dengan Nabi saw. akan membentenginya dari kemunafikan, kefasikan dan kebobrokan moral. Dengan logika seperti itu bukankah kaum munafik juga bersahabat dengan Nabi saw., dan berjumpa serta menyatakan keimanan di hadapan Nabi saw., namun demikian mereka tetap disebut munafik dan tempat mereka adalah al-darkil asfali minan nâr (tempat paling bawah dan hina dalam api neraka).

Akan tetapi keterheranan kita mungkin berakhir apabila kita mengerti bahwa bukan persahabatan dengan Nabi saw. yang menjadi titik fokus pembelaaan, akan tetapi sebenarnya adalah kecintaan kepada keluraga besar bani Umayyah dan koleganya yang mendorong mereka membela keluarga terkutuk itu.

Apa yang saya katakan ini tidak berlebihan atau tanpa dasar. Perhatikan betapa mereka menelantarkan sahabat-sahabat besar seperti Ammâr, Abu Dzarr dan tidak memberikan pembelaan yang semestinya dan dengan semangat yang seperti mereka tampakkan ketika membela Mu’awiyah, ‘Amr ibn al-Ash, Abu Hurairah, al Mughirah bin Syu’bah, al Walîd dan kawan-kawan. Bahkan yang sangat mengeherankan, mereka sama sekali tidak memberikan pembelaan ketika Bukhari melecehkan Imam Ali as. dengan menyebutnya menentang Nabi saw. dan bersikap kepada beliau saw. seperti sikap orang kafir dengan mendebat dan membantah sehingga Nabi saw. berpaling dan membacakan sebuah ayat yang kata para ulama itu turun menggambarkan karakter buruk orang-orang kafir!

Sekali lagi para pensyarah Bukhari yang terhormat tidak satu pun dari mereka yang mengatakan, misalnya, tidak layak kita berprasangka buruk terhadap sahabat… bahkan Ibnu Katsir (mufassir andalan Ahluusunnah) menyebutnya dalam tafsir ayat 54 surah al Kahfi dan menjadikan Imam Ali dan Fatimah putri Nabi as. sebagai yang dimaksud dengan ayat kecaman itu.!

Mereka; para ulama Ahlusunnah juga tetap saja menampakkan senyum ceria mereka ketika giliran Nabi Muhammad saw., nabi mereka dihina, dilecehkan dan difitnah habis-habsan oleh riwayat-riwayat yang mengatakan misalnya, Nabi saw. kerjanya hanya mengisi waktu-waktu malamnya dengan kegiatan sek menggilir sembilan atau sebelas istrinya dan yang lebih konyol lagi kata ulama itu Nabi saw. tidak mandi jenabat melainkan hanya sekali saja!

Nabi saw. dihina dan difitnah membunuh dengan bengis dan tidak manusiawi lawan-lawannya dengan menusuk mata-mata mereka dengan pedang panas mengangah dan setelahnya membiarkan mereka menggelepar-gelepar di atas padang pasir membakar hingga mati kehabisan darah!

Mereka diam seribu bahasa ketika Nabi Muhammad saw. dituduh mau bunuh diri karena stres tidak didatangin wahyu… beliau lari ke puncak gunung dan bertekad melemparkan diri, namun untung Malaikat Jibril segera datang, jika tidak….? Jika tidak, para ulama Ahlusunnah tidak sempat punya nabi akhir zaman!!

Mereka menuduh Nabi saw. tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah mengutusnya sebagai nabi sehingga seorang pendeta  nashrani bernama Waraqah bin Naufal menyadarkannya bahwa yang daatang kepadanya itu malaikat Jibril pembawa wahyu kudus… barulah Nabi saw. sadar dan yakin bahwa beliau benar-benar sebagai utunsan Allah… andai bukan karena jasa Waraqah bin Naufal pastilah ulama Ahlusunnah akan menyaksikan nabi mereka tepat dalam keraguan dan tidak pernah mau mentablighkan wahyu yang diterimanya!!

Tidak cukup sampai di sini, para ulama Ahlusunnah itu justeru menyerang setiap yang berusaha membela Nabi saw. dengan menepis semua fitnahan itu! Tetapi jika giliran data kefasikan al Walîd dibongkar, mereka bangkit bak singa kelaparan mencari mangsa dan meraung-raung menyerang musuh!

Demikianlah para ulama Ahlusunnah dengan segenap kekuatan yang mereka miliki membela sahabat kebanggaan mereka; al Walîd yang fasik itu! Karena Salaf kebanggaan mereka harus dibela… siapa pun yang menghinanya harus dilawan, ditentang dan dikecam habis-habisan betapa pun dia adalah Allah Rabbul ‘Alâmin! Sebab kehormatan “Sahabat Agung” kebanggaan mereka di atas segalanya!!

Selamat bagi Anda yang membanggakan memiliki Salaf Panutan Yang Fasik! Dan di sini saya meminta kepada Anda saudara Sunniku untuk mendatangkan bukti barang satu saja bahwa al Walîd tidak fasik!! Dan data-data yang telah saya sebutkan di atas adalah palsu!!

Ibnu Jakfari:

Nah sekarang permasalahnya ialah, apakah kita tetap bersikeras mengatakan bahwa orang yang telah ditegaskan Allah SWT. sebagai orang yang fasik, orang yang disebut Nabi saw. sebagai calon tetap penghuni neraka[22] apakah juga harus kita yakini keadilannya?

Dan apakah kita masih tentram menjadikan perantara dalam mengambil ajaran agama seorang yang berani berbohong kepada Nabi saw. justru dikala beliau saw. masih hidup? Tidakkah ia lebih berani berbohong kepada kita; manusia biasa ini? Manakah yang lebih harus kita ambil, firman Allah tentang al Walîd bahwa ia fasik atau pendapat para ulama yang mengatakan al Walîd adalah sahabat yang adil dan saleh serta layak dijadikan perantaraan dalam menimba ajaran agama?


[1] Al Ishâbah,3/637.

[2] Ibid.

[3] Istî’âb (dicetak dipinggir al Ishâbah),3/630-636.

[4] Ansâb al Asyrâf,6/144.

[5] Târîkh Damasqus,11/314 baca juga Tahdzîb al Kamâl,5/144.

[6] Târîkh Damasqus,239 Siyar al A’lâm,3/414 dan al Mughni,10/538.

[7]Ibid.3/632.

[8] Ibnu Katsir. Tafsir al-Qura’n al-Adziim. Vol.4,208-210. daar al-Ma’rifah – Beirut. Tahun1400 H/1980 M.

[9] Al-Qurthubi. Al-Jâmi’ li Ahkâm alqur’an. jilid. IIX, juz.16, hal.311-312.

[10] Tafsir Al-Nasafi. Jilid. Ii, juz4,hal.168. daar al-Kitaab al-’Arabi. Beirut. tt.

[11] Al Khâzin. Lubâb al Ta’wîl. Vol.6,222 dan Al Baghawi. Cet. Al-Bâbi al-Halabi-Mesir.

[12] Ma’âlim al al Tanzîl. Dicetak dipinggir al Khâzin.

[13] Rûh al Ma’âni. Jil.13, juz.26, hal.297-298. Dâr al Kutub al Ilmiyah. Beirut. Tahun.1994.

[14] Al-Syaukani. Fath al-Qadir. Vol.5,61-62. Daar al-Fikr. Beirut.tt.

[15]Dalam banyak dokumen sejarah bahwa Utsman melakukan itu setelah sebelumnya jusrtu berusaha memberikan sanksi kepada para saksi, akan tetapi Imam Ali as. turun tangan dan memaksa Utsman untuk menegakkan hukum Allah SWT. atas al Walîd, si pemabuk yang fasik itu. Dan akhirnya Utsman pun menghukumnya.

[16] Al-Qasimi. Mahâsin al Ta’wîl. Vol.15,115-117. Dâr al Fikr. Tahun.1978.

[17] Lubâb an Nuqûl fi Asbbâb al-Nuzûl.196-197. Dâr Iyâ’ al-’Ulûm. Beirut. Tahun 1978.

[18] Asbbâb al-Nuzûl.261-263. Dâr al Fikr, Beirut. Cet. Tahun 1988.

[19] At Tahhîr wa an Nanwîr,26/190.

[20] Dalam Syawahidnya vol.1,445-453, al-Hiskani menyebutkan empat belas riwayat, riwayat610 hingga 623. Fath al-Qadir. Vol.4,255-256.

[21] Syarah Nahjul Balâghah; Ibu Abi al Hadîd al Mu’tazili,6/292.

[22] Demikian disebutkan al Mas’ûdi dalam Murûj adz Dzahab-nya,2/344.

.

____________________________________________________________________

UNTUK BERKOMENTAR DAN BERINTERAKSI DENGAN PENULIS SILAHKAN KLIK DISINI